Kamis, 07 Mei 2009

Nyi@r Lum@r

Saya bertemu dengan teman lama bernama Iman Soleh. Guru acting dan pupuhu CCL Bandung itu menyatakan kepada saya bahwa Nyiar Lumar adalah penemuan berharga yang tidak akan terpikirkan oleh pemerintah. Hal tersebut ia katakan saat menyaksikan Nyiar Lumar 2008 yang digelar Sabtu (23/8) malam di Situs Astana Gede Kawali, Kabupaten Ciamis. Perbincangan pun akhirnya berlanjut di kedai kopi. Menurut Iman, Nyiar Lumar sangat berharga bagi pertumbuhan kebudayaan. Nilai-nilai kebijaksanaan, filosofis dan sejarah yang terkandung di Situs Astana Gede berhasil diaktualisasi dengan kemasan yang memiliki daya hidup tinggi. Organik dan alamiah.

Nyiar Lumar pun menjadi ruang pertemuan antarmasyarakat kota dan desa untuk larut berbaur mengikuti rangkaian kegiatan dari siang sampai menjelang subuh. Keragaman seni sebagai media dalam mengemas kearifan lokal mampu menjembatani kesenjangan rasa duduluran yang kian hari kian menipis. Nyiar Lumar menjadi ajang anjangan, sampai-sampai para calon Bupati Ciamis pun tidak mau melewatkan momen ini untuk bersilaturahmi dengan masyarakat atau sekadar menunjukkan bentuk kepeduliannya terhadap seni dan budaya, atau mencari simpati masa.

Nyiar Lumar yang telah diselenggarakan selama enam kali pada akhirnya menjadi wacana lain. Bahwasannya, ekspresi kesenian tidak selalu harus diverbalkan di ruang bertembok. Nyiar Lumar akhirnya menjadi paradoks dari paradigma ruang ekspresi yang dilatarbelakangi keluh kesah pekerja seni di Kawali, terutama Teater Jagat SMAN 1 Kawali yang kesulitan mentas di gedung-gedung.

Nyiar Lumar dan Situs Astana Gede, menurut Iman, menjadi kesatuan yang utuh dalam mendeskripsikan sebuah taman budaya alami. Konservasi alam, sejarah, dan seni mampu hidup langsung di ranah habitatnya, kendati beberapa jenis kesenian masih beradaptasi dengan pemahaman masyarakat yang ada di daerah, terutama seni yang berkonsep modern dan absurd menjadi pembelajaran bagi masyarakat lembur untuk semakin cerdas memahami dinamika dan perkembangan kesenian setiap saat.

Sejenak mengenang, masih terendap dalam ingatan saya ketika Nyiar Lumar diselenggarakan di situs Astana Gede Kawali. Saat itu, negara chaos dalam pertikaian konflik politik akibat wacana reformasi menjadi gerakan aktif yang menyeluruh di bumi nusantara. Malam tanggal 20 Mei 1998 Nyiar Lumar pertama kali diselenggarakan. Sejak sore, situasi politik yang berkecamuk, membuat miris hati rengrengan panitia. Betapa tidak, saat itu, kegiatan-kegiatan pengumpulan massa cenderung dicap sebagai gerakan reformasi yang berpotensi mengganggu kestabilan pemerintahan Orde Baru.

Bukan tanpa sebab, beberapa orang tak dikenal, bertubuh kekar dan berambut cepak terlihat berbaur dengan penonton yang jumlahnya saat itu belum seberapa. Dalam benak panitia, muncul dugaan bahwa mereka adalah kaum intelijen yang tengah mencari-cari adanya provokator reformasi dalam Nyiar Lumar. Bahkan, siang harinya, Ketua Panitia Nyiar Lumar sempat diinterogasi danramil setempat.

Dengan perasaan tegang dan rasa waswas, Nyiar lumar pun berlangsung. Rangkaian acara yang awalnya diwawa’as, diikuti dengan pasrah dan khusyuk. Lewat pukul 11.05 WIB, tepat seusai pergelaran Teater Jagat yang menampilkan lakon “Obor-obor”, tekanan kesunyian pun dipecahkan teriakan yang menyatakan bocoran bahwa Soeharto telah lengser (secara resmi Soeharto mundur keesokan harinya, 21 Mei 1998 pukul 9.05 WIB).

Faktor kebetulan itulah yang membuat Nyiar Lumar pantas untuk dikenang dan tetap diselenggarakan. Sebagai event budaya yang momen waktunya turut bersamaan dengan runtuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaanya dan mengantar orde berikutnya berkuasa di negeri yang ternyata masih tetap karut-marut ini.

Tidak lazim

Nyiar Lumar digagas setelah melewati proses panjang perjalanan sebuah kelompok teater sekolah yang bernama Jagat. Kelompok Teater asal SMAN 1 Kawali ini pada puncak kreativitasnya kerap leuleuweungan alias mengadakan pementasan di alam terbuka (hutan, sungai, dan bukit) sebagai konsep spiritual dalam mentafakuri semesta raya. Tanpa publikasi, tanpa penonton, tanpa kelaziman seperti layaknya pementasan di kota besar ataupun di gedung kesenian yang megah, apalagi menjadi pembahasan di media masa. Estuning sunyi dan senyap. Hanya gemeresik daun, gerimis hujan dan udara dingin yang menjadi aplaus ketika pementasan usai digelar.

Adalah Bukit Baros Panjalu yang menjadi titik awal konsep Nyiar Lumar, ketika Teater Jagat mengusung pementasan dengan judul Serat Kalapeng yang naskah dan penyutradaraannya digarap saya, terbersit keinginan untuk menggelar naskah tersebut di Situs Astana Gede Kawali, tempat dengan kewingitan sejarah yang sudah seharusnya diberdayakan dengan bijak sejak dulu. Mungkin, jika boleh dikatakan wangsit, itulah panggilan karuhun Kawali bagi Teater Jagat untuk pulang dari leuleuweungan-nya. Kembali ke rumahnya sendiri, Astana Gede Kawali yang hanya berjarak sekitar 600 meter dari kampus sekolah.

Gagasan dan konsep dibahas bersama. Dang Qimos, Edy Rusyana, dan Godi Suwarna adalah seniman-seniman yang turut membidaninya. Akhirnya, terciptalah sebuah kegiatan yang berisi rangkaian pertunjukan seni yang digelar semalam suntuk. Kontemplatif, nyiruruk dinu singkur bari tafakur, ngahenang hening mangsa bihari, demikian maksud yang tersirat kala itu. Nyiar Lumar adalah nama acara yang disematkan Godi Suwarna. Nyiar adalah pencarian dan lumar adalah jamur yang bersinar pada malam hari dan tumbuh pada lumut akar atau batang kayu yang lapuk, sehingga Nyiar Lumar pun menjadi sebuah nama yang sederhana dan bila dipikirkan, mudah untuk ditafsirkan.

Dengan konsepnya yang sederhana namun dianggap orisinal, idealisme, dan tanpa pamrih, bahkan hanya dengan anggaran Rp 500.000,00, panitia dapat menjamu ratusan tamu dengan bajigur dan susuguh lembur lainnya. Saat itu aliran jeprut dan happening art sebagai bagian dari fenomena teater modern tengah berkembang dengan pesat di Bandung mulai diperkenalkan oleh Wawan Husen.

Dalam hal ini, Iman Soleh, yang pada masanya juga seniman jeprut, mengatakan bahwa pemahaman kesenian memerlukan proses pembelajaran. Pada saatnya nanti, toh masyarakat juga akan mengerti dengan tampilan seni yang saat ini masih dianggap absurd. Konsep jeprut dan happening art, sampai Nyiar Lumar berikutnya menjadi bagian seni yang tetap dipertontonkan secara eksklusif. Dalam arti, tidak semua penonton harus mengerti dengan gagasan yang diusungnya.

Palagan Bubat

Sebagai kegiatan budaya yang digagas di zaman kiwari, tentu konsep Nyiar Lumar tidak mesti statis dengan kemasan lamanya. Para local genius yang berkiprah didalamnya harus berpikir kritis menyikapi paradigma di masyarakat. Kendati Nyiar Lumar sudah menjadi agenda budaya pemerintah, eksistensinya belum dimiliki sepenuhnya oleh kalangan masyarakat. Sampai saat ini Nyiar Lumar masih menjadi hajat para seniman. Dalam arti, penyelenggaraannya masih bergantung penuh kepada iktikad seniman yang berkiprah di dalamnya. Termasuk juga dalam pengadaan dana kegiatan yang semakin bergantung kepada kesuksesan proposal.

Kenyataan tersebut membuat Nyiar Lumar belum bisa dikatakan sebagai kegiatan tradisi. Karena untuk disebut tradisi di antaranya harus melampau kurun waktu tertentu. Satu generasi, menurut Ajip Rosidi, adalah 90 tahun. Nyiar Lumar belum melampaui hitungan itu. Yang paling penting untuk disebut tradisi adalah peran serta masyarakat dalam memelihara kegiatan tersebut secara kontinu, di dalamnya mesti tumbuh pula kesadaran untuk berswadaya karena ada keterikatan memori dan emosi yang membuat kegiatan tersebut selalu dibutuhkan untuk diselenggarakan.

Untuk menumbuhkan kesadaran tersebut, kemasan Nyiar Lumar harus dinamis, terutama menyesuaikan pula dengan arus selera dan kecenderungan yang tumbuh di masyarakat. Minimalnya, sebuah pergelaran dapat diapresiasi dengan baik secara umum oleh penonton. Kemasan khas yang selama ini tetap dipertahankan, baik seni jeprut, tradisi, maupun komposisi, yang diimplementasikan dalam bentuk tari, teater, sajak, dan musik, seyogianya digarap lebih cerdas dan verbal agar gagasan yang disampaikannya tidak membuat penonton kerung teu ngarti.

Saya setuju dengan pendapat Iman Soleh, sebuah kesenian memerlukan waktu untuk dimengerti. Namun, di sisi lain, terpampang kenyataan bahwa masyarakat cenderung masa bodoh terhadap sesuatu yang tidak dipahaminya. Apalagi arus globalisasi yang setiap saat menyerbu ruang-ruang privacy dengan beragam kemasan yang lebih menarik, membuat masyarakat secara umum akan semakin berpaling dari tujuan tadi. Apalagi jika gelar seni yang ditampilkan tema dan kemasannya selalu itu-itu saja.

Contoh itu terlihat dalam setiap penyelenggaraan Nyiar Lumar pertama sampai yang terakhir. Tanpa bosan, tema Perang Bubat mendominasi setiap pergelaran. Terutama tari dan teater. Seolah-olah tidak ada ide lain untuk mengungkap kebesaran sejarah Sunda yang terkandung di Situs Astana Gede selain Palagan Bubat yang terkenal itu. Padahal, banyak kisah sejarah maupun legenda lainnya di Ciamis yang dapat dijadikan sumber garapan. Hal itu menunjukkan setiap kreator Nyiar Lumar hanya mengidentifikasi Astana Gede dan Palagan Bubat saja sebagai tema garapnya.

Semangat perlawanan

Nyiar Lumar identik pula dengan pesta seribu obor. Areal situs pada malam hari berpendar dalam cahaya api yang dipasang di beberapa tempat sebagai satu-satunya alat penerangan yang dipergunakan. Saya teringat, Godi Suwarna pernah mengutarakan kredonya bahwa Nyiar Lumar juga adalah semangat perlawanan terhadap teknologi. Itu akhirnya menjadi semacam pakem bagi setiap pertunjukan agar tidak menggunakan teknologi seperti sound system dan lighting. Secara konsep, hal itu sejalan dengan gagasan kontemplatif. Namun secara teknis, terjadi pendangkalan yang membuat pertunjukan tertentu-terutama teater- tidak maksimal diapresiasi penonton.

Saya yang telah beberapa kali menggarap pertunjukan teater di Nyiar Lumar, selalu berhadapan dengan kendala teknis tersebut. Secara artistik, cahaya oncor yang berfungsi sebagai lighting memang menimbulkan efek psikologis, natural, dan magis. Namun, di sisi lain, intensitasnya yang cenderung membiaskan mata justru mengaburkan make-up karakter setiap tokoh. Demikian pula dengan sound dan audio. Kendati akustik alam di Cikawali (salah satu tempat di Astana Gede yang dipergunakan untuk pertunjukan) tidak terlalu buruk, namun kerasnya olah vokal saja tidak cukup untuk didengar dan diapresiasi secara umum oleh penonton.

Yang menjadi korban atas kredo tersebut adalah seni karawitan yang notabene membutuhkan sound memadai. Jangan harap di Cikawali akan terdengar jentreng kacapi, gelik suling, suara rebab atau hariring juru kawih. Waditra seperti itu yang jelas membutuhkan teknologi sound system akhirnya selalu dianulir untuk menjadi bagian dari kemasan pertunjukan. Satu-satunya yang mampu tampil maksimal adalah Ronggeng Gunung. Seni buhun yang memang tidak pernah menggunakan sound system ini sangat cocok dengan kredo tadi.

Penggunaan teknologi seperti lighting dan sound system untuk Nyiar Lumar berikutnya layak dipertimbangkan kembali. Tentunya dengan memperhitungkan kapasitas tekhnologi yang dipergunakan sesuai dengan takaran dan kebutuhannya. Pada dasarnya, teknologi bukanlah untuk dilawan. Justru dimanfaatkan agar misi visi Nyiar Lumar dapat tersampaikan lebih general lagi.

Terlepas dari itu semua, Nyiar Lumar yang sudah dianggap agenda budaya di Jawa Barat harus lebih mengakar, khususnya bagi masyarakat Kawali sebagai pribumi. Pandangan Nyiar Lumar sebagai acara kesenian yang digelar khusus dan eksklusif untuk atau oleh para tamu yang notabene adalah para seniman dan budayawan dari dayeuh atau dari daerah lainnya yang membutuhkan keheningan, harus diubah.

Saya pun berandai-andai, jika saja Nyiar Lumar dimengerti oleh masyarakat Kawali sebagai salah satu upaya untuk menggali sumber daya manusia lewat pemahaman seni terhadap sejarah kerajaan Sunda, bukan mustahil sumber daya ekonomi masyarakat setempat sedikit banyak akan terbantu. Jika saja Nyiar Lumar sudah mampu dikelola masyarakat Kawali baik dari segi dana ataupun penyelenggaraanya, bekerja sama dengan seniman sebagai pelaku seni dan pemerintah sebagai “penjaga budaya”, bukan mustahil Nyiar Lumar akan selalu terlaksana setiap tahunnya. Tidak perlu lagi menunggu “wangsit” dari pribadi tertentu.

Ketika Nyiar Lumar sudah menjadi hajat urang Kawali dengan bentuk kesenian-kesenian tradisi yang lebih akrab, mudah dipahami di samping kesenian eksklusif yang biasa digelar, tidak menutup kemungkinan investor ataupun pemerintah akan tertarik manamkan sahamnya, membangun kawasan di luar Situs Astana Gede menjadi tempat yang representatif dan kontemplatif bagi kegiatan kesenian, baik berupa pelatihan seni tradisi maupun kegiatan kajian sejarah dan budaya lainya, sepanjang tidak merusak dan melanggar situs utama sebagai cagar purbakala yang harus terjaga keutuhannya.

Bukan mustahil pula opini Astana Gede sebagai salah satu tujuan wisata sejarah terbentuk dan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung. Kegiatan ekonomi pun akan berjalan dengan sendirinya. Penduduk setempat dapat menyediakan rumahnya sebagai home stay, menjual makanan khas daerah, ataupun menjual cendera mata seperti replika prasasti-prasasti yang terdapat di situs itu sendiri. Atau, mengelola lahan parkir.

Seandainya saja Nyiar Lumar adalah tradisi turun-temurun warisan para leluhur seperti halnya Upacara Nyangku di Panjalu, ataupun Seren Tahun di Cigugur Kuningan, bukan gagasan di abad modern, tentu saja saya tidak perlu berandai-andai lagi.***

Pandu Radea, Wartawan Budaya HU “Priangan” dan salah seorang penggagas Nyiar Lumar.

Dimuat di Khazanah Pikiran Rakyat, 30 Agustus 2008. Melihat langsung di HU. Pikiran Rakyat, silahkan klik di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar